Waspadai Bahaya Korupsi Dengan Mencegah Politik Uang Dalam Pemilu

Waspadai Bahaya Korupsi Dengan Mencegah Politik Uang Dalam Pemilu

Setiap dekati pemilu, beberapa calon kepala wilayah atau anggota legislatif mengobral janji manis ke warga. Seringkali beberapa dari mereka menyebar a

Politik Uang Pemilu 2024 - www.awsipemilu.com - Setiap dekati pemilu, beberapa calon kepala wilayah atau anggota legislatif mengobral janji manis ke warga. Seringkali beberapa dari mereka menyebar amplop berisi uang atau bungkusan sembako. Dengan sadar mereka sudah lakukan politik uang, sebuah praktek koruptif yang hendak membimbing ke beragam tipe korupsi yang lain. Politik uang (money politic) ialah sebuah usaha mempengaruhi opsi pemilih (voters) atau pelaksana pemilu dengan imbalan materi atau yang lain. Dari pengetahuan itu, politik uang adalah bentuk suap.Praktek ini pada akhirnya munculkan beberapa pimpinan yang cuma perduli kebutuhan individu dan kelompok, bukan warga yang pilihnya. Ia berasa berkewajiban cari keuntungan dari kedudukannya, satu diantaranya untuk kembalikan modal yang keluar dalam kampanye.

Pada akhirnya sesudah memegang, ia akan lakukan beragam manipulasi, terima suap, gratifikasi atau korupsi yang lain secara beragam jenis bentuk. Tidaklah aneh bila politik uang dikatakan sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi.
Amir Arief, Direktur Publikasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, menjelaskan politik uang sudah mengakibatkan politik memiliki biaya mahal. Selainnya untuk jual-beli suara (vote buying), beberapa calon harus juga bayar mahar politik ke partai dengan nominal fenomenal.
Sudah pasti, itu tidak cuma dari uangnya individu, tetapi bantuan dari beragam faksi yang menginginkan bolak-balik bila pada akhirnya ia dipilih. Sikap ini biasa disebutkan investive corruption, atau investasi untuk korupsi.
“Dari pengkajian kami, kesuksesan dalam pemilu atau pemilihan kepala daerah 95,5 % dikuasai kemampuan uang, beberapa untuk mengongkosi mahar politik. Peserta harus keluarkan Rp5-15 miliar per-orang untuk ini,” tutur Amir ke ACLC.

Siaga Serangan Fajar

Salah satunya tipe vote buying yang banyak terjadi dikenali nama “gempuran fajar”. Memakai istilah dari sejarah revolusi Indonesia, gempuran fajar ialah pemberian uang ke pemilih pada sebuah wilayah saat sebelum pencoblosan dilaksanakan. Gempuran fajar terkadang dilaksanakan pada subuh saat sebelum pencoblosan, atau beberapa hari kemarin.
“Politik memiliki biaya mahal beberapa untuk beli suara, vote buying. Ada yang bernama ‘serangan fajar’, terkadang disebutkan ‘serangan dhuha’. Pemilih akan dijaga benar supaya suaranya betul-betul dipakai untuk pilih seorang,” kata Amir.
Di buku “Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014” disebut jika pembelian suara ialah praktek yang sudah dilakukan dengan struktural, mengikutsertakan lis pemilih yang sulit, dan dilaksanakan arah mendapat sasaran suara yang lebih besar. Disebutkan struktural karena terjadi pengerahan team yang masif untuk lakukan pencatatan dan menebarkan beberapa ribu amplop uang, dan bergerilya untuk pastikan penerimanya betul-betul mencoblos pemberi amplop.
Gempuran Fajar sudah dilaksanakan semenjak jaman Orde Baru dan seolah jadi sisi proses dari demokrasi Indonesia. Ini ditunjukkan dari survey LIPI (Instansi Pengetahuan Pengetahuan Indonesia) pada 2019 yang mengatakan warga melihat acara pesta demokrasi itu sebagai gelaran “membagi-bagi rejeki”.

Dalam survey itu diketemukan jika 40 % informan akui terima uang dari peserta pemilu, tetapi tidak pertimbangkan pilih mereka. Sementara 37 % terima uang dan pertimbangkan pilih pemberinya.

Bukan hanya dari segi warga, dari segi politikus juga gempuran fajar sudah membuat sebuah adat demokrasi yang jelek. Politikus memandang votes buying ialah suatu hal yang wajar, perlu dilaksanakan agar dapat menaklukkan pesaingnya pada pemilihan.

“Terjadi prisoner’s dilemma antara calon. Mereka cemas kompetitornya akan lakukan gempuran fajar, hingga ia lakukan hal yang masih sama” kata Amir.

Imbas Jelek Politik Uang

Memengaruhi opsi dengan politik uang pada akhirannya akan berpengaruh jelek untuk warga sendiri. Praktek ini akan hasilkan pimpinan yang tidak pas untuk pimpin. Peraturan dan keputusan yang mereka mengambil kurang representatif dan akuntabel. Kebutuhan masyarakat ada di posisi demikian, sesudah kebutuhan dianya, donatur, atau parpol.

“Pada akhirnya figure yang dipilih mempunyai watak yang pragmatis, bukan yang berkualifikasi atau kuat memiliki integritas. Mereka pilih menang dengan apa pun itu, ini bukanlah figur pimpinan yang bagus,” kata Amir.

Figure yang dipilih karena korupsi politik ini akan menggerakkan korupsi di beberapa sektor lainnya. Ini muncul karena figure itu kumpulkan uang “kembali modal” yang dikeluarkannya sepanjang kampanye.

Korupsi itu dapat berpengaruh di intern lembaga yang dipegang atau ke warga. Di intern, korupsi dapat terjadi berbentuk jual-beli kedudukan atau pada penyediaan barang dan jasa. Dan efeknya ke warga, akan tercipta peraturan yang tidak berpihak mereka, pungli, sampai pemangkasan bujet untuk kesejahteraan.

“Kerugiannya ke warga, pasti ada pungli, karena ia harus cari sumber dana lain. Ia akan menggunting bujet, hingga kualitas pembangun menyusut. Dalam masalah ini, warga alami rugi secara langsung dan tidak langsung,” kata Amir.

Tolak Politik Uang, Putus Rantai Belenggu Korupsi

Sudah dimengerti, jika beragam tipe korupsi ialah turunan dari politik uang. Oleh karena itu, memberantas korupsi di Indonesia tidak habis bila politik uang sebagai induknya korupsi tidak bisa ditangani.

Pendidikan antikorupsi jadi penting supaya warga bisa menampik gempuran fajar. Dengan penampikan itu, keinginannya rantai korupsi yang mengurung negeri ini bisa putus.

“Bila KPK dan aparatur penegak hukum yang lain dapat menggunting mata rantai korupsi politik, karena itu hampir sekitaran 66-70 % korupsi dapat dihindari atau dikurangkan dengan krusial,” kata Wuryono Prakoso, Kepala Unit Pekerjaan Direktorat Publikasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, ke ACLC.

Warga perlu mengetahui jika mereka sudah menaruhkan nasib sepanjang 5 tahun dengan jual suaranya pada harga yang murah. “Misalnya terima amplop berisi Rp500 ribu untuk pilih orang yang tidak memiliki integritas. Bermakna suara masyarakat sepanjang 5 tahun cuma dipandang Rp100 ribu /tahunnya, atau Rp275 perak setiap harinya,” kata Wuryono.

“Jika saja warga tahu jika jalan mereka tidak diperbarui, sekolah tidak dibuat, akses kesehatan jelek, stunting, dan semua keperluan dasarnya tidak dipenuhi dengan beberapa pimpinan yang cuma dengan modal uang,” lanjut Wuryono.

Atas bukti itu, pendidikan jadi modal penting saat menantang korupsi. Tersebut penyebabnya KPK mencanangkan taktik Trisula, yakni pendidikan, penangkalan, dan pengusutan untuk memberantas korupsi. Dengan pendidikan antikorupsi yang bagus, warga yang pintar akan sanggup pilih pimpinan yang berkualitas dan memiliki integritas.

“Kami memberi pesan ke warga, pilih pimpinan dan wakil masyarakat dari figur-figur yang memiliki integritas. Warga harus pintar pilih, tidak boleh terlena dengan uang dan mengagunkan suara mereka. Tentukan yang memiliki integritas, bukan isi tas,” kata Amir