Keterwakilan Perempuan Pada Pemilu 2024 Menurun?

Keterwakilan Perempuan Pada Pemilu 2024 Menurun? bagaimana PKPU no 10 tahun 2023 bertentangan dengan kebijakan Afirmatif kuota 30% perempuan dalam politik
Awasi Pemilu - Benarkah keterwakilan perempuan dalam politik pada pemilu menurun? PKPU nomor 10 Tahun 2023 disinyalir sebagai penyebab kuoto 30% perempuan tak dapat terpenuhi.
Hampir setiap partai politik Indonesia telah gagal mencadangkan kandidat perempuan setidaknya 30 persen dari kursi yang diperebutkan dalam pemilu 2024, sebagai kemunduran dari dorongan negara untuk tindakan gender yang afirmatif selama dua dekade.
UU Pemilu Legislatif 2003 memperkenalkan tindakan afirmatif dengan menetapkan bahwa partai politik dapat mengajukan calegnya di setiap daerah pemilihan dengan “memperhatikan” pencalonan caleg perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam daftarnya.
Dari 18 partai yang mengajukan daftar caleg DPR ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan di 84 daerah pemilihan secara nasional. menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Representasi Perempuan.
“Hal ini mencegah perempuan menggunakan hak konstitusional mereka untuk dipilih,” kata Hadar Nafis Gumay, anggota koalisi.
Bapak Hadar, yang juga direktur eksekutif Jaringan untuk Demokrasi dan Integritas Pemilu, mengatakan hal itu disebabkan oleh peraturan baru oleh Komisi Pemilihan yang disahkan pada bulan April yang memungkinkan partai politik untuk mengajukan kurang dari 30 persen calon legislatif perempuan yang ditetapkan dalam pemilihan. daerah pemilihan yang diberikan.
Di bawah aturan ini, jika suatu daerah pemilihan memiliki empat calon, jumlah minimum calon perempuan yang diajukan dapat dibulatkan menjadi satu, sehingga menurunkan keterwakilan perempuan menjadi 25 persen. Pengaturan ini juga mempengaruhi daerah pemilihan dengan tujuh, delapan, dan sebelas calon.
Hadar memperkirakan bahwa dengan masing-masing partai menghapus satu slot untuk kandidat perempuan di setiap daerah pemilihan, sekitar 290 slot untuk perempuan hilang dalam pemilu 2024.
Hadar, mantan komisioner KPU, mencatat bahwa aturan baru melanggar UU Pemilu 2008 dan mengikis tindakan afirmatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik.   
“Kami percaya bahwa proses politik yang inklusif dan adil akan menghasilkan kebijakan yang mempromosikan keadilan bagi semua. Menurunnya jumlah perempuan yang ikut pemilu akan mempengaruhi pembuatan kebijakan,” ujarnya. 
Keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia memperkenalkan kuota 30 persen pada pemilu 2004, dan memperbaiki pengaturan tersebut dengan mensyaratkan bahwa dari setiap tiga calon legislatif, satu harus perempuan pada pemilu 2009.
Hanya ada 61 anggota parlemen perempuan dari total 550 orang yang memilih berkuasa pada tahun 2004 – terhitung 11 persen dari semua anggota parlemen. Tetapi angka tersebut naik menjadi 120 perempuan – atau 20,9 persen dari 575 anggota parlemen yang memilih untuk menjabat – pada tahun 2019.
Hal ini memungkinkan Indonesia menduduki peringkat ke-105 dari 193 negara dalam hal keterwakilan perempuan di Parlemen oleh Inter-Parliamentary Union, organisasi global Parlemen nasional, pada tahun 2022.
Partisipasi perempuan yang lebih besar dalam politik dianggap penting untuk mengatasi isu-isu terkait gender, terutama di negara seperti Indonesia, di mana lima dari 100 perempuan berusia di atas 15 tahun buta huruf pada tahun 2020.  
Titi Anggraini, seorang dosen hukum pemilu di Universitas Indonesia, menggambarkan kegagalan sebagian besar partai politik untuk memenuhi kuota 30 persen sebagai kemunduran besar bagi pemilu inklusif dan demokrasi di Indonesia. 
“Partai politik masih belum menganggap tindakan afirmatif sebagai sistem nilai yang harus mereka perkuat secara internal, dan sebagai kebijakan yang harus dilembagakan.
“Sebaliknya, mereka menganggapnya sebagai beban,” katanya kepada ST, mencatat bahwa partai politik sering merekrut kader perempuan hanya menjelang pemilu.   
Titi mengatakan bahwa kurangnya komitmen partai politik untuk memenuhi kuota dapat menjadi preseden buruk yang dapat melemahkan dorongan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di berbagai lembaga publik.
Namun, kata dia, parpol masih memiliki waktu untuk merevisi daftar calegnya, meski hal itu bisa memicu konflik internal karena pergantian caleg laki-laki oleh caleg perempuan.
“Partai harus merevisi daftar calegnya untuk mengakomodir keterwakilan perempuan sebagaimana diamanatkan undang-undang,” imbuhnya.  
Diah Pitaloka, yang memimpin Kaukus Parlemen Wanita Indonesia, mengatakan bahwa partai politik perlu membantu membangun kapasitas anggota perempuan mereka daripada meninggalkan mereka. 
“Kalau kader perempuan tidak mau ikut kontes karena kelemahannya, parpol jangan sampai merusak kesempatan (untuk mencalonkan). Mereka harus memiliki strategi khusus untuk memperkuat dan mendukung kader perempuan,” ujarnya. 
Dia menambahkan bahwa kandidat perempuan telah mendapatkan hampir 21 persen dari semua kursi Parlemen dalam pemilihan sebelumnya, dan ini menjadi bukti bahwa mereka adalah “pengambil suara potensial”. 
“Dengan melibatkan perempuan dalam strategi kemenangannya, partai akan mendapatkan keuntungan,” kata Ibu Diah, yang merupakan anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang membidangi urusan sosial dan keagamaan.

Kebijakan Afirmatif

Kebijakan afirmatif adalah pendekatan atau langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah atau lembaga-lembaga untuk mengatasi atau mengurangi ketidaksetaraan serta diskriminasi yang terjadi terhadap kelompok-kelompok yang secara historis telah mengalami perlakuan tidak adil atau terpinggirkan. Tujuan utama dari kebijakan afirmatif adalah untuk menciptakan peluang yang lebih merata bagi kelompok-kelompok yang rentan mengalami diskriminasi atau ketidaksetaraan.
Kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. 
Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan: „‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Dari waktu ke waktu, affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik semakin disempurnakan. Hal itu dapat ditelaah ketika DPR menyusun RUU Paket Politik yang digunakan dalam pelaksanaan Pemilu 2009, yaitu UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa : ‟Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus).
Pada kelembagaan partai politikpun, affirmatic action dilakukan dengan mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam penidirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur syarat pendirian Partai Politik, pada Pasal 2 menyatakan: ‟Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. 
Pada ayat sebelumnya dinyatakan bahwa: ‟Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris‟.
Affirmative action terhadap perempuan pada partai politik, tidak berhenti pada pendirian dan kepengurusan saja. Partai politik baru dapat mengikuti Pemilu jika telah menerapkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusannya di tingkat pusat. 
Penegasan tersebut diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada Pasal 8 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa: „‟Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”.
Pengaturan yang lebih penting dalam rangka affirmative action agar perempuan dapat semakin berkiprah di lembaga legislatif adalah ketentuan mengenai daftar bakal paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Pasal 53 UU Pemilu No 10 Tahun 2008 menyatakan: ‟‟Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan‟‟. 
Sementara, ketentuan pada Pasal 52 mengatur mengenai daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh partai politik peserta Pemilu. Dengan demikian, affirmative action keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon dilakukan tidak hanya untuk DPR, tetapi berlaku pula untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.
Ketentuan lebih maju lagi dalam affirmative action adalah adanya penerapan zipper system. Sistem tersebut mengatur bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon terdapt sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan. Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan: „‟Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon‟‟. Pada ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. 
Contoh dari penerapan zipper system tersebut, jika suatu partai politik
menetapkan bakal calon nomor urut 1 hingga 3, maka salah satu di
antaranya harus seorang bakal calon perempuan. Seorang perempuan
harus diletakan pada nomor urut 1,2,atau 3 dan tidak di bawah nomor
urut tersebut.
 
Demikian selanjutnya, dari nomor urut 4 hingga 7, misalnya,
maka seorang perempuan harus diletakan di antara nomor urut 4 hingga 6.
Lalu, sebagai salah satu penekanan lebih lanjut agar partai politik
melaksanakan affirmative action terhadap bakal calon anggota legislatif
tersebut, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diberi wewenang
untuk memberitahukanya kepada publik. 
Pada Pasal 66 ayat 2 UU No. 10
Tahun 2008 dinyatakan: “KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten /kota
mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon
tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional
dan media massa elektronik nasional”.
Dengan amanat undang-undang yang sudah jelas maka sudah sepatutnya keterwakilan perempuan dalam politik harus terus dipertahankan bahkan lebih ada peningkatan.
Sumber: